Para peserta kelas Jindo buk chum bersama Prof Lee Kyung-hwa di latihan terakhir kami (coba tebak ini gaya pencitraan atau memang lagi latian ๐?) - Photo by: Bae Ae-ri |
Kegiatan pertama gue di KCCI pada tahun tikus ini adalah ikutan kelas budaya 5 hari dari 28 Jan - 1 Feb 2020 Jindo buk-chum. Seperti biasa KCCI mendatangkan langsung guru untuk kelas budaya ini dari Korea. Kali ini tidak tanggung-tanggung yang didatangkan adalah masternya, Prof Lee Kyung-hwa, Ph.d.
Waktu pengumuman peserta kelas gue sempat shock karena kelas gue isinya mayoritas orang Korea dan setelah dibaca lebih seksama nama-namanya, mereka adalah para penari pro dan guru tari, beberapa bahkan pernah mengajar kelas budaya di KCCI. Dengan bermodal nekad, gue pun tetap ikutan kelasnya dan siapa sangka baru keluar kata 'menyerah' di hari terakhir berkat gerakan yang secepat kilat ^^. Udah cepat, gerakannya memadukan gerakan kaki dan pukulan drum yang super duper cepat. Dijamin habis menarikan bagian itu berasa lagi melayang / mimpi / menari dibawah alam sadar (sorry lebay ^^ ~ but coba aja sendiri dah, pasti pada setuju dengan gue kalau udah cobain sendiri).
Apa itu Jindo buk-chum (์ง๋๋ถ์ถค)?
Jindo Buk Chum ini adalah sebuah tarian tradisional Korea yang menggabungkan tarian dengan permainan drum tradisional Korea. Kalau dari judul tariannya, dapat diartikan seperti ini: Jindo (์ง๋) adalah nama pulau di Provinsi Jeolla Selatan (Jeollanam-do) di Korea Selatan. Buk (๋ถ) adalah alat musik pukul tradisional Korea yang berbentuk seperti drum. Sementara chum (์ถค) sendiri artinya tarian. Jadi Jindo buk-chum adalah tarian drum dari pulau Jindo.
Menurut guru kami, bagian yang paling ditonjolkan dalam Jindo buk-chum adalah gerakan kaki. Oleh karenanya setiap penari haruslah dapat melakukan step tariannya dengan benar. Karena tarian ini dulunya ditarikan oleh penari pria, gerakan tarian ini tidaklah segemulai tarian kipas Korea (Buchaechum). Kalau menurut gue tarian ini udah seperti gabungan langkah di silat / wushu dan gerakan tangan di tai chi.
Bagaimana pengalaman belajar selama 5 hari?
5 hari berlatih tarian ini selama minim 2,5 jam per hari (minim karena beberapa hari gue sempat ikutan nimbrung di kelas malam juga biar bisa mengejar ketinggalan~ maklum daya tangkap gue untuk hal artistik begini kecepatannya pentium 1 doank ^^), cukup membuat gue berasa habis olahraga seperti habis ikut aerobic atau zumba. Gimana tidak, menggendong drumnya aja itu udah sesuatu banget loh. Apalagi klo dapatnya drum yang besar (bukan drum kecil yang biasa dipakai untuk tari Jindo drum). Memegang sticknya juga cukup menguras tenaga dan tak jarang banyak yang luka jarinya karena kelamaan megang stick. Belum lagi ditambah dengan gerakan yang luar biasa cepat. Kagak kalah sama gerakan dance K-pop loh tarian ini.
Walau begitu, gue cukup puas dengan kelas ini karena paling gak gue bisa menarikan-nya di hari ke 5 walau jauh dari sempurna. Meskipun gue belum pede untuk ikutan tampil bareng yang lain di Kedubes Korsel, paling gak gue berhasil menghapalkan gerakannya dari awal sampai akhir. Walau ada beberapa gerakan yang susah untuk dipraktekan. Maklum otak kanan kiri gue agak susah diajak bekerja bersamaan jadinya tangan dan kaki gue sering gak sinkron. Sejujurnya gue termotivasi untuk belajar ini dari hari ke hari karena melihat guru kami yang udah usia 65 tahun (seumur nyokap gue) mampu menarikan tarian ini dengan energik dan tanpa ada kesan lelah diwajahnya, padahal ya beliau mengajar 3 kelas dari jam 10 pagi dan baru selesai di jam 8 malam. Luar biasa deh staminanya!
Menurut gue tarian ini benar-benar menantang untuk dipelajari. Buat mereka yang suka dance coba deh belajar ini.
Fyi, Prof Lee Kyung-hwa akan kembali lagi ke Jakarta untuk mengajarkan kelanjutan dari tarian ini di bulan Maret mendatang.
Cek video latihan terakhir kami di sini.
Cek video latihan terakhir kami di sini.
No comments:
Post a Comment